Jika iklim adalah yang kita harapkan dan cuaca adalah yang kita dapatkan, maka arsitektur selayaknya jadi penangkal rasa kecewa.
Bicara soal “arsitektur dan iklim” pada akhirnya adalah bicara soal “manusia dan iklim”. Kita tidak bisa meminta alam untuk berubah, tapi kita bisa berubah, dan beradaptasi. Arsitek, mau tidak mau, akan selalu menggunakan tubuhnya sendiri sebagai parameter, ukuran untuk rentang toleransi terhadap iklim yang ia berikan bagi karyanya, dan dengan demikian bagi sang pemberi tugas. Karena itu, tidak salah rasanya apabila arsitek beranggapan bahwa apa yang tidak mengganggunya akan bisa diterima oleh pemberi tugas.
Sampai di sini kita tiba di satu titik krusial. Titik di mana seorang arsitek harus bisa membedakan mana “klien” mana “patron”, sebelum ia menarik garis pertama. Titik di mana jawaban atas pertanyaan kedua, siapa yang harus menganggung resiko atas “quality deficiency”, terletak.
Seorang “klien” atau seorang “patron” menentukan perbedaan mendasar yang melahirkan tuntutan yang sangat berbeda terhadap tanggung jawab arsitek: menghasilkan sebuah bangunan layak pakai yang memenuhi kebutuhan dan keinginan pemberi tugas atau sebuah ikon arsitektural.
Membicarakan arsitektur dan iklim dikaitkan dengan etik, memang bisa jadi jalan buntu, ketika estetik dipaksa beradu dengan etik. Di sinilah patron menjadi pintu keluar dari kebuntuan itu.
Tentang hubungan antara arsitek dan patronnya, Peter Blake – arsitek, kritikus, dan mantan editor in chief dari Architectural Forum – menulis:
Rumah-rumah yang didesain oleh arsitek-arsitek terkenal cenderung tidak praktis; banyak pemilik rumah tinggal yang dirancang oleh Corbu maupun Wright menyadari bahwa mereka tinggal di bangunan-bangunan yang terlalu mahal dan tidak efisien. Namun mereka tidak akan mau menukar rumah-rumah mereka dengan karya yang, meskipun bekerja dengan baik, desainnya biasa-biasa saja.
Cerita tentang Peter Palumbo bisa jadi ilustrasi yang tepat untuk hal di atas.
Palumbo membeli Farnsworth House dari pemilik pertamanya, dan menugaskan cucu Mies, yang juga arsitek, untuk mengembalikan rumah tersebut ke kondisi aslinya. Ia menghilangkan jendela, tirai-tirai dan insect screens, dan memasang instalasi AC di sana.
Dalam pengantar untuk monografnya yang terbit tahun 2003, secara puitis Palumbo menulis:
“Kehidupan di dalam rumah sangat dipengaruhi oleh alam, dan adalah perpanjangan dari alam. Perubahan musim maupun perubahan lansekap menciptakan perubahan mood yang nyata.”
Ia tidak mengeluhkan badai salju yang mengguncang fondasi, pun air yang masuk ke dalam rumah karenanya. Ia menganggap wajar luapan sungai akibat lelehan salju yang mencapai pintu depan, dan menyebabkan akses ke rumah tertutup kecuali dengan kano. Tulisannya tentang proyek ini, juga restorasi yang dilakukannya, sesungguhnya telah memosisikan Palumbo sebagai patron arsitektural yang sejati dari Farnsworth House.
Seorang patron tahu resiko yang akan dihadapi ketika menugaskan arsitek garda-depan-eksperimental mendesain untuknya. Seorang klien – tidak. Di sini, quality deficiency berpotensi memicu konflik.
Read more: http://www.konteks.org/arsitektur-dan-iklim
#himarseducation
#himarsinfo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar